Pekerja adalah setiap penduduk dalam usia kerja yang melakukan kegiatan ekonomis, baik dalam hubungan kerja di perusahaan maupun di luar hubungan kerja seperti pekerja mandiri, pekerja keluarga dan pekerja di sektor informal lainnya.
Indonesia pada saat meratifikasi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 melalui Undang-Undang No.20 tanggal 7 Mei 1999, menetapkan batas usia kerja minimum 15 tahun. Sebelumnya, batas usia kerja minimum di Indonesia adalah 10 tahun. Harus diakui bahwa hingga sekarang ini, masih terdapat sejumlah penduduk berusia dibawah 15 tahun karena alasan-alasan tertentu terpaksa membantu anggota keluarga atau sebagai pekerja keluarga.
Melakukan kegiatan ekonomis artinya melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Melakukan pekerjaan dapat melalui atau di perusahaan di bawah perintah orang lain, menejemen atau pengusaha; dapat pula dilakukan secara mandiri tanpa perintah atau pengawas orang lain; atau dengan cara membantu usaha keluarga atau sebagai pekerja keluarga.
Pekerja mandiri dan pekerja keluarga tidak menerima upah atau gaji akan tetapi memperoleh seluruh hasil kerjanya. Hasil pekerja mandiri dan pekerja keluarga, sebagian atau seluruhnya, dapat dikonsumsi sendiri atau dijual. Nilainya sama dengan nilai penjualan seluruh hasil dimaksud. Dengan kata lain penghasilan pekerja mandiri dan pekerja keluarga adalah nilai semua hasil kerjanya. Semakin besar jumlah yang dihasilkan, semakin besar penghasilannya.
Pekerja di perusahaan melakukan kegiatan atas perintah pemberi kerja atau manajemen atau pengusaha. Sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan, pekerja mendapat upah dan tunjangan-tunjangan jaminan social. Besar upah dan tunjangan yang diterima pekerja sangat tergantung pada kesepakatan atau hasil perundingan pekerja atau kelompok pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dengan demikian dalam satu perusahaan terjalin hubungan yang terus menerus antara pekerja dan pemberi kerja. Hubungan tersebut dinamakan hubungan industrial. Dengan kata lain, hubungan industrial terdapat hanya di perusahaan yang secara formal memperkerjakan sejumlah orang dengan memberikan imbalan upah dan tunjangan jaminan sosial.
Para pekerja di perusahaan dahulu digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah pekerja operasional atau kadang-kadang disebut pekerja kasar. Mereka pada dahulu umumnya bekerja dengan mesin-mesin sehingga pakaiannya cepat kotor, pakaian kerja kasar tersebut biasanya diberi warna biru dan kemudian dinamakan blue-collar workers atau pekerja kerah biru. Di Negara barat juga disebut labourers dan di Indonesia biasanya sering disebut buruh.
Kelompok kedua adalah pekerja yang melakukan kegiatan di kantor mereka biasanya memakai baju kerah putih atau white collar. Karena sifat pekerjaannya, pakaian putih tersebut tidak cepat kotor. Mereka kadang-kadang disebut employed atau karyawan.
Istilah yang tepat untuk semua adalah pekerja atau workers, mencakup pekerja kerah putih fan pekerja kerah biru di perusahaan serta pekerja mandiri dan pekerja keluarga. Pengertian pekerja lebih luas daripada buruh, dan penggunaan istilah pekerja lebih tepat daripada istilah buruh. Demikian juga istilah serikat pekerja lebih luas dan lebih tepat dari serikat buruh sesuai dengan alasan berikut :
Pertama, pengertian buruh atau dalam bahasa inggris labour lebih dikonotasikan kepada pekerja kasar atau pekerjaan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik daripada keahlian atau kemampuan intelektual. Seperti dikemukakan di atas, labourer dalam bahasa inggris digunakan hanya kepada pekerja kasar atau pekerja kerah biru. Sebaliknya pekerja atau workers mencakup semua orang yang melakukan kerja, baik buruh dan pekerja terampil, maupun tenaga ahli atau pekerja kerah putih atau karyawan atau employees.
Guru, dokter dan paramedis misalnya tidak biasa disebut buruh akan tetapi pada umunya tidak keberatan disebut dengan pekerja. Demikian juga pegawai negeri dan pegawai perusahaan milik Negara. Dengan demikian, penggunaan istilah pekerja lebih tepat untuk mencakup seluruh orang yang melakukan pekerjaan, baik pekerja kasar maupun pekerja ahli dan terampil, baik disektor swasta maupun di sektor pemerintahan dan usaha milik Negara.
Kedua, istilah buruh dan serikat buruh lebih berkonotasi pada pekerja kasar di sektor formal. Sejarah perkembangan serikat buruh termasuk di Negara maju ternyata tidak menjamah pekerja-pekerja di sektor informal membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
Ketiga, pengalaman di berbagai Negara juga menunjukan bahwa serikat buruh menjadi lebih terbatas pada pekerja kasar di perusahaan, hampir tidak mencakup pejabat supervise, manajemen bawah dan manajemen menegah. Penggunaan istilah serikat pekerja akan membuka peluang yang lebih besar untuk menarik tenaga supervise, pejabat pimpinan di semua level menjadi anggota serikat pekerja. Mereka pada dasarnya adalah penerima upah dan gaji. Tidak semua mereka mewakili pengusaha atau pemilik, dan oleh sebab itu mereka berhak dan patut menjadi anggota serikat pekerja untuk memperjuangkan kepentingannya.
Keempat, semua Konvensi dan Rekomendasi ILO menggunakan istilah workers dan workers’ organization, atau kadang-kadang trade union, bukan labour atau labour organization, walaupun organisasi ini bernama International Labour Organisation yang lebih tepat diterjemahkan menjadi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional.
Kelima, permulaan sejarah perjuangan buruh adalah memang pertentangan kelas, yaitu memobilisasi seluruh pekerja untuk memerangi pemilik modal atau kapitalis yang dianggap memeras pekerja untuk memupuk keuntungan sebesar-besarnya. Di negara-negara komunis, serikat buruh menuntut untuk tidak memberikan hak hidup bagi kapitalis. Semua modal dan asset harus dimiliki oleh Negara, sehingga berkembang etatisme yang ternyata telah gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pekerja.
Sumber :
http://ariplie.blogspot.co.id/2015/11/pihak-pihak-dalam-hubungan-industrial.html
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.