I.
I. PENDAHULUAN
Setiap
perusahaan didirikan untuk mencapai tujuan tertentu yang akan dicapai. Untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan modal salah satunya adalah sumber daya
manusia atau yang lebih dikenal dengan karyawan. Kemajuan perusahaan dapat
dilihat dari prestasi yang diberikan oleh karyawan karena prestasi merupakan
hasil dari apa yang dihasilkan karyawan apakah sesuai atau tidak dengan harapan
perusahaan. Tetapi kemampuan berprestasi masing-masing karyawan berbeda-beda
karena disebabkan oleh kemampuan individu, pekerjaan yang diberikan dan
fasilitas yang diberikan perusahaan. Peran serta sumber daya manusia ini harus
didukung dengan pengembangan peningkatan kualitas sumber daya dan pemberian
motivasi.
Kebutuhan
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya perlu mendapat perlindungan dengan
adanya lingkungan kerja yang aman, nyaman dan tenteram karena akan menimbulkan
keinginan untuk bekerja denganbaik. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan
kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Selain
keselamatan kerja, kesehatan kerja juga merupakan faktor yang penting.
Kesehatan kerja yang menunjuk pada bebas dari gangguan fisik maupun mental yang
dapat berasal dari lingkungan kerja. Manfaat motivasi yang utama adalah
menciptakan gairah kerja karena sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi
yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya dan merasa dihargai.
Kondisi aman dan sehat memberikan umpan balik motivasi yang akan mendorong
prestasi kerja.
II.
PEMBAHASAN
Kecelakaan kerja tidak hanya menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja namun juga bagi perusahaan
tempatnya bekerja karena akan mengganggu proses produksi. Pengertian
keselamatan kerja yaitu suatu program yang dibuat bagi pekerja atau buruh
maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan bagi timbulnya kecelakaan kerja dan
penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali
hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Sistem ini bertujuan untuk mengurangi biaya
perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja.
Langkah-langkah tindakan preventif untuk
menciptakan keselamatan kerja di tempat kerja bagi para buruh/pekerja harus
ditempuh dengan cara-cara sebagai berikut :
1.
Adanya
penyelenggaraan penyegaran udara yang cukup;
2.
Mengamankan
dan memelihara bangunan serta gedung sebagai tempat kerja para buruh;
3.
Pemeliharaan
kebersihan, kesehatan, dan ketertiban;
4.
Pemberian
kesempatan atau jalan guna menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian lain yang berhubungan dengan adanya bahaya;
5.
Pencegahan
dan pengurangan kecelakaan;
6.
Pencegahan
terhadap timbulnya penyakit akibat kerja, keracunan, infeksi, maupun penularan;
7.
Terciptanya
keserasian antara buruh, alat kerja, lingkungan, cara, dan proses kerja;
8.
Terselenggaranya
suhu dan lembab udara yang baik; dan
9.
Tersedianya
penerangan yang cukup dan sesuai
Pelaksanaan kesehatan kerja oleh pengusaha
juga memiliki tujuan dan sasaran. Menurut Suma’mur sasaran pelaksanaan
kesehatan kerja yaitu:
1) Mencegah dan
memberantas penyakit akibat kerja;
2) Memelihara dan meningkatkan kesehatan kerja
dan gizi pekerja;
3) Memberantas kelelahan kerja; dan
4) Perlindungan bagi masyarakat sekitar terhadap
bahaya yang ditimbulkan.
Setiap tenaga
kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan
untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas. Upaya
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja itu menciptakan lingkungan kerja
yang aman, sehat dan sejahtera bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(1).
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan karena
dua golongan. Golongan pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan (unsafe condition), sedangkan golongan kedua adalah faktor manusia (unsafe action). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya
kecelakaan kerja yaitu antara 80–85% (Suma’mur, 2009).
Seorang pekerja yang melakukan tindakan
tidak aman (unsafe action), memiliki latar belakang mengapa mereka melakukan tindakan
tidak aman. Perilaku manusia merupakan refl eksi dari berbagai kondisi kejiwaan
seperti pengetahuan, keinginan, minat, emosi, kehendak, berpikir, motivasi,
persepsi, sikap, reaksi, dan sebagainya (Zaenal, 2008).
Pengendalian dari segi faktor
organisasi membutuhkan sebuah proses dengan bantuan empat fungsi manajerial
utama, yaitu POAC (Planning, Organizing, Actuating,
Controlling). Metode POAC digunakan untuk
membentuk sebuah sistem di dalam organisasi, di dalam kesehatan dan keselamatan
kerja dikenal dengan istilah sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja
(SMK3). Dengan adanya SMK3 dapat digunakan sebagai cara pencegahan terjadinya
kecelakaan kerja yang disebabkan oleh perilaku pekerja melalui adanya budaya
keselamatan yang dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terkait.
Menurut ACSNI budaya keselamatan adalah
bagian dari sikap (attitude), keyakinan (belief), dan tata nilai (norm) organisasi pada K3. Budaya keselamatan merupakan sikap
dalam organisasi dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Budaya
keselamatan mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan
keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung
jawab (Yusri, 2011).
Cooper (2001) menyatakan bahwa, budaya keselamatan
merupakan interelasi dari tiga elemen, yaitu organisasi, pekerja, dan
pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keselamatan harus dilaksanakan oleh
seluruh sumber daya yang ada, pada seluruh tingkatan dan tidak hanya berlaku untuk
pekerja saja. Indikator pelaksanaan budaya keselamatan tergantung dari visi dan
misi organisasi. Indikator tersebut tidak dapat ditetapkan dengan paten karena
budaya merupakan suatu hal yang abstrak, di mana di setiap organisasi memiliki budaya
yang berbeda. Budaya keselamatan dibentuk oleh komitmen manajemen, peraturan
dan prosedur, komunikasi, keterlibatan pekerja, kompetensi, dan lingkungan
sosial pekerja yang dapat dilihat dari persepsi pekerja (Cooper dalam Andi
dkk., 2005).
Reason (1997) mengungkapkan bahwa
budaya keselamatan kerja yang baik dapat membentuk perilaku pekerja terhadap
keselamatan kerja yang diwujudkan melalui perilaku aman dalam melakukan pekerjaan
(2).
Maslow
(Gibson, et. Al., 1994) yang mana apabila kebutuhan terpenuhi maka termotivasi untuk
melakukan pekerjaan sesuai harapan perusahaan. esehatan kerja adalah kondisi
bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan
lingkungan kerja (Mangkunegara, 2001). Perusahaan mengenal dua kategori
penyakit yang diderita tenaga kerja (Silalahi, 1995) yaitu: (a) Penyakit umum yang
mungkin dapat diderita semua orang.
Penyakit
umum merupakan tanggung jawab anggota masyarakat karena itu harus mengadakan
pemeriksaan sebelum masuk kerja; dan (b) Penyakit akibat kerja, yang dapat timbul
setelah karyawan yang tadinya terbukti sehatmemulai pekerjaannya. Pencegahan
gangguan kesehatan akibat faktor dalam pekerjaan (Suma’mur, 1993) adalah dengan
substitusi, ventilasi, isolasi, pelindung, pemeriksaan kesehatan sebelum kerja,
pemeriksaan berkala, penerangan,dan pendidikan tentang kesehatan kepada pekerja
secara kontinyu. Pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan (Rivai,
2003) mengurangi timbulnya penyakit, penyimpanan catatan tentang lingkungan
kerja, memantau kontak langsung, penyaringan genetik. Menurut peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, kesehatan kerja bertujuan
untuk memberi bantuan kepada tenaga kerja, melindungi tenaga kerja dari gangguan
kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan kerja, meningkatkan kesehatan,
memberi pengobatan dan perawatan serta rehabilitas (3).
III.
KESIMPULAN
Faktor pembentuk budaya keselamatan
yang termasuk dalam kategori baik yaitu komitmen, peraturan dan prosedur,
komunikasi, dan lingkungan sosial pekerja. Sedangkan yang termasuk dalam kategori
cukup baik yaitu keterlibatan pekerja. Faktor pembentuk budaya keselamatan yang
tidak berhubungan dengan perilaku K3 yaitu komitmen manajemen, peraturan dan
prosedur, dan keterlibatan pekerja. Faktor yang berhubungan dengan perilaku dan
memiliki kuat hubungan cukup kuat yaitu komunikasi dan lingkungan sosial
pekerja, sehingga semakin tinggi intensitas komunikasi antara pekerja dengan
pekerja maupun pekerja dengan manajer, maka semakin baik pula perilaku pekerja
terhadap K3. Begitu pula dengan lingkungan sosial, semakin baik lingkungan
sosial pekerja maka semakin baik pula perilaku pekerja terhadap K3.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Rosa DelimaNovita A. JURNAL PELAKSANAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
BAGI WARTAWAN KONTRIBUTOR TELEVISI (STUDI KASUS TERHADAP TV ONE YOGYAKARTA),
2015, http://e-journal.uajy.ac.id/7585/1/JURNAL.pdf
diakses pada tanggal 22 Desember 2016.
2.
Karina Zain Suyono, Erwin Dyah Nawawinetu, HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PEMBENTUK BUDAYA KESELAMATAN KERJA DENGAN SAFETY
BEHAVIOR DI PT DOK DAN PERKAPALAN SURABAYA UNIT HULL CONSTRUCTION The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 2, No.
1 Jan-Jun 2013: 67–74 http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/k3aaaf3d0761full.pdf diakses pada tanggal 22 Desember
2016.
3.
Catarina Cori Pradnya ParamitaPENGARUH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN
PADA PT. PLN (PERSERO) APJ SEMARANG Jurnal Administrasi Bisnis Volume I
Nomor 1 September 2012http://ejournal.undip.ac.id/index.php/janis/article/view/4313/3934 diakses pada tanggal 22 Desember
2016.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.