HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAB I. PENDAHULUAN
Seperti
kita ketahui bersama bahwa seringnya terjadi perselisihan di dalam perusahaan
merupakan sesuatu yang amat mengganggu kegiatan operasional perusahaan, banyak
hal yang selalu menjadi pemicu permasalahan antara karyawan dan perusahaan,
untuk itu perlunya suatu proses mediasi yang dilakukan agar dapat meredam
terjadinya perselisihan tersebut. Proses mediasi inilah yang kemudian disebut
sebagai Hubungan Industrial. Kegiatan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial
di dalam sebuah Perusahaan bisa dikatakan lebih dari sekedar dari hal-hal yang
berkaitan dengan pengelolaan organisasi perusahaan itu sendiri. Perkembangan
yang berkaitan dengan Hubungan Industrial merupakan cerminan adanya
perubahan-perubahan dalam sifat dasar kerja di dalam suatu masyarakat (baik
dalam arti ekonomi maupun sosial) dan adanya perbedaan pandangan mengenai
peraturan perundangan undangan tentang ketenagakerjaan. Kegiatan Hubungan
Industrial dapat dijelaskan, yaitu “meliputi sekumpulan fenomena, baik di luar
maupun di dalam tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan
hubungan ketenagakerjaan”. Namun, sulit untuk mendefinisikan istilah “Hubungan
Industrial” secara tepat yang dapat diterima secara universal. Memang muncul
pernyataan yang mendefinisikan “Hubungan Industrial” dikaitkan dengan
laki-laki, bekerja penuh waktu, mempunyai serikat buruh, pekerja kasar di unit
pabrik besar yang menetapkan tindakan-tindakan pengendalian, pemogokan, dan
perundingan bersama.
Hubungan
industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh,
dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam
pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag, pekerja/buruh atau serikat pekerja
buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran
masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD. Dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial prinsip-prinsip industrial.
Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan, maka akan dapat
meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan pengusaha sehingga
perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang penulismakalah
ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian akan
digabungkan dengan berbagai materi.
BAB II. PEMBAHASAN
1. Hubungan Industrial
Hubungan
industrial sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan Industrial
Pancasila. Berdasarkan literatur istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
merupakan terjemahan labour relation atau hubungan perburuhan.Istilah ini pada
awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah
hubungan antara kerja/buruh dan pengusaha
.
Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubugan Industrial
Pancasila (HIP) departemen Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah
suatu sistem yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa
(pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila
dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan berkembang di atas keperibadian
bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu sebagai wujud pelaksanaan
hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah harus sesuai
dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk
perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada
nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh. Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah
hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
perilaku
dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri atas unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2.
Landasan Hubungan Industrial Landasan hubungan industrial terdiri atas :
a.
Landasan idil ialah pancasila
b.
Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945
c.
Landasan opersainal GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan
lain dari pemerintah
3. Tujuan Hubungan Industrial
Berdasarkan
hasil seminar HIP tahun 1974 (Shamad, 1995: 12) tujuan hubungan industrial
adalah mengemban cita-cita proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan
ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha,
meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya
sesuai derajat manusia. Sedemikian berat dan mulianya tujuan tersebut, maka
semua pihak yang terkait dalam hubungan industrial harus meahami untuk
terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial dengan baik.
4.
Ciri-ciri Hubungan Industrial
a)
Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja,
melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia,
masyarakat, bangsa dan negara.
b)
Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka melainkan sebagai
manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
c)
Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang
bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan
perusahaan.
d)
Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan
jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
e)
Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas
dasar rasa keadilan dan kepatutan.
5.
Sarana Hubungan Hubungan Industrial
a.
Serikat pekrja/serikat buruh
b.
Organisasi pengusaha
c.
Lembaga kerja sama bipartit
d.
Lembaga kerja sama Tripartit
e.
Peraturan Perusahaan
f.
Perjanian kerja bersama
g.
Peraturan perundangan-undangan ketenagakerjaan dan
h.
Lebaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6.
Kesepakatan Kerja Bersama
Menurut
pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian peraturan
perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang membuat syarat-syarat kerja dan tata cara perusahaan.
Sedangkan
perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perbandingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat
buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat-syaratkerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak
(pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13).
Pengertian dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
Menurut Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1996/1997: 2) ialah perjanjian
yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang
terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja dengan pengusaha-pengusaha, perkumpulan
perusahaan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat
syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.
Dalam
praktik selama ini banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian
kerja bersama (PKB), seperti:
a.
Perjanjian Perburuhan Kolektif (PKK) atau collecteve Arbeids Ovreenkomst (CAO);
b.
Persetujuan Perburuhan Kolektif (PPK) atau Coolective Labour Agreement (CLA);
c.
Persetujuan Perburuhan Bersama (PPB); dan
d.
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).
Semua
istilah tersebut di atas pada hakikatnya sama karena yang dimaksud adalah
perjanjian perburuhan sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 tahun 1954 (di mana undang-undang ini sudah tidakberlaku sejak
memberlakukan undang-undang Nomor 13 tahun 2003).
7.
Hubungan Bipartit dan Tripartit
Hubungan
bifartit dan tri patit Yaitu forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan, yang anggotanya
terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekera/buruh (periksa Kaputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor
Kep-255/Men/2003 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lemaga
Kera Sama Bipartit). Sedangkan Tripartit yaitu forum komunikasi, lonsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri atas unsur
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah (periksa
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata kerja dan Susunan
Organisasi Lembaga kerja sama Tripartit). Pengertian bipartit dalam hal ini
sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses perundingan yang dilakukan
antara dua pihak, ayitu pihak pengusaha dengan pihak pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh, antara lain, apabila terjadi perselisihan antara
pengusaha dengan pekera/buruh diperusahaan (surat edaran Direktur Jendral
Pembinaan Hubungan Industrial Nomor SE-01/D.PHI/XI/2004. perundingan bipartit
pada hakikatnya merupakan upaya musyawrah untuk mufakat antara pihak pengusaha
dan pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
8.
Tata Cara Menyusun Kesepakatan Kerja Bersama
Dalam
Organisasi Seperti lazimnya perjanjian, pembuatan peraturan perusahaan dan
perjanjian kerja sama juga ada ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan
dimaksud adalah:
1.
Pembuatan peraturan perusahaan :
a. wajib bagi perusahaan yang
memperkerjakan minimal sepuluh orang pekerja/buruh.
b. kewajiban butir (1) tidak berlaku bagi
perusahaan yang sudah memiliki perjanjian kerja sama.
c. memperhatikan saran dan pertimbangan
dari wakil pekerja/buruh, atau serikat pekerja/buruh. Disamping iru dapat juga
berkonsultasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
d. materi yang diatur adalah syarat kerja
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan dan rincian pelaksanaan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
e. sekurang-kurangnya memuat:
hak
dan kewajiban pengusaha;
hak
dan kewajiban pekera/buruh;
syarat
pekerja;
tata
tertib perusahaan ; dan
jangka
waktu berlakunya peraturan perusahaan.
f. pembuatnya dilarang:
menggantikan
perjanjian kerja bersama yang sudah ada sebelumnya;
bertentangan
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Pembuatan peraturan perusahaan tidak
dapat diperselisihkan karena merupakan kewajiban dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
h. wajib mengjajukan pengesahan kepada
menteri atau pejabat yang ditunjuk (yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
i. wajib memberitahukan dan menjelaskan
isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada
pekerja/buruh.
BAB III. KESIMPULAN
Sebagaimana
hasil riset yang menunjukkan Manajemen talenta telah diidentifikasi sebagai
strategi kunci untuk mengatasi sejumlah masalah sumber daya yang sangat penting
dalam pelayanan umum pada perusahaan, departemen, organisasi seperti; penuaan
tenaga kerja dan tingkat pensiun yang meningkat, pasar tenaga kerja yang ketat,
daya saing yang terbatas, organisasi harus memanfaatkan secara efisien semua
sumber dayanya – pegawai bertalenta , material, teknik dan teknologi , modal
serta metode. Bidang yang diberikan penekanana paling penting adalah sumber
daya manusia bertalenta. Salah satu kemungkinan instrumen manajemen sumber daya
manusia yang sukses adalah sistem manajemen talenta. Hal ini menyangkut
aplikasi yang cermat terhadap prinsip-prinsip terbaik dan pendekatan yang telah
terbukti dalam praktek, terutama dalam hal rekrutmen dan seleksi orang
bertalenta, pengembangan, penempatan dan retensi,juga langkah yang ada dalam
Roadmap untuk Manajemen Talenta yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Berger,
L . and Dorothy Berber. (2011). The Talent Management Handbook: Creating
Organizational Excellence by Identifying, Developing, and Promoting the Best
People. 2nd. New York: McGraw-Hill Companies.
·
CIPD
(2007). Talent Management Fact Sheet, CIPD, London.
·
Executive
Report. (2009). State of Global Talent. Management. Fourth Annual Softscape
Global HR Survey Reveals.
·
Michaels,
E G, Handfi eld-Jones, H and Axelrod, B (2001).The War for Talent. Harvard
Boston, MA.: Harvard Business School Press.
·
Introducing
Talent Management,” Dale Carnegie Training, William J.
·
Rothwell,
Ph.D., SPHR, Dale Carnegie Training, 2007.Rothwell, W. (2001). Effective
Succession Planning. New Yoork: AMACON
·
Rothwell,
W. (2005). Effective succession planning: Ensuring leadership continuity and
building talent from within. 3rd ed. New York: Amacom.
·
Smilansky,
Jonathan PhD . (2006). Developing Executive Talent: Best Practices from Global
Leaders. New Yoork: AMACON
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.