Friday, June 24, 2016

Hubungan Industrial Yang Harmonis dan Berkeadilan

Abstrak
Dalam ketenagakerjaan, antara pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan yang saling menguntungkan.Pekerja memberikan tenaganya untuk produk dan jasa, sedangkan pengusaha membayar upah atas jasa pekerja dalam menciptakan produk, baik berupa barang atau jasa yang dijual pada konsumen.Pemerintah sebagai fasilitator yang menyediakan prasarana mendapatkan keuntungan melalui pajak yang dibayar pengusaha.2 Dengan bertambah besarnya perusahaan maka antara pekerja dengan pengusaha tidak lagi mengenal secara pribadi, sehingga masalah-masalah yang timbul antara pekerja dengan pengusaha sudah tidak mudah lagi untuk diselesaikan sehingga sering menghambat kelancaran jalannya perusahaan.Karena itu perlu adanya aturan yang harus ditaati oleh kedua belah pihak untuk menjaga agar terciptanya ketenangan pada pekerja dan perusahaan. Sistem produksi yang maksimal memerlukan adanya kerjasama yang baik antara sesama pekerja karena pekerjaan yang satu dengan yang lainnya saling terkait.Sejak itu mulailah orang-orang mempelajari dan membahas masalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang merupakan cikal bakal berkembangnya bidang hubungan industrial yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kepribadian bangsa.


Pendahuluan
Hubungan Industrial (Industrial Relations) adalah kegiatan yang mendukung terciptanya hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu pengusaha, karyawan dan pemerintah, sehingga tercapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha (Industrial Peace).
Pada Undang‐Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 Hubungan Industrial didefinisikan sebagai “Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai‐nilai Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat pentingnya kegiatan ini, masalah hubungan industrial perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganannya, karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan proses produksi yang terjadi di perusahaan.
Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal yang hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya.
Yang paling mendasar dalam Konsep Hubungan Industrial adalah Kemitra‐sejajaran antara Pekerja dan Pengusaha yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersama‐sama ingin meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan.
Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan

Para Pihak
Pemerintah (Departemen Tenaga Kerja)
Fungsi Pemerintah: Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang berlaku.

Organisasi Serikat Pekerja
Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian dan ikut memajukan perusahaan serta memperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara sukarela dan demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja, Gabungan serikat Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan sangat penting dan strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.
Dasar Hukum Pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam:
  1. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
  2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
  3. Kepmenaker No. 16 Tahun 2001 tentang Tatacara Pencatatan Serikat Pekerja/Buruh
  4. Kepmenaker No. 187 Tahun 2004 tentang Iuran anggota Serikat Pekerja/Buruh

Setiap pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi Anggota Serikat Pekerja. Serikat Pekerja pada perusahaan berciri‐ciri sebagai berikut:
  1. Dibentuk dari dan oleh pekerja secara demokrasi melalui musyawarah para pekerja di perusahaan.
  2. Bersifat mandiri, demokrasi, bebas dan bertanggung jawab.
  3. Dibentuk berdasarkan sektor usaha/lapangan kerja.

Pengusaha dilarang menghalangi pekerja untuk membentuk Serikat Pekerja dan menjadi pengurus Serikat Pekerja dan pekerja yang menduduki jabatan tertentu dan/atau fungsi tugasnya dapat menimbulkan pertentangan antara pengusaha dan pekerja tidak dapat menjadi pengurus Serikat Pekerja
Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum pada Departemen Tenaga Kerja memiliki dua hal:
  1. Berhak melakukan perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
  2. Berhak sebagai pihak dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.

Organisasi Pengusaha
Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis serta berkeadilan. 
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial. Hal tersebut tercermin dari visinya yaitu Terciptanya iklim usaha yang baik bagi dunia usaha dan misinya adalah Meningkatkan hubungan industrial yang harmonis terutama ditingkat perusahaan,
Merepresentasikan dunia usaha Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan Melindungi, membela dan memberdayakan seluruh pelaku usaha khususnya anggota. Untuk menjadi anggota APINDO Perusahaan dapat mendaftar di Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau di Dewan Pengurus Privinsi (DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional (DPN).
Bentuk pelayanan APINDO adalah sebagai berikut :
Pembelaan
Bantuan hukum baik bersifat konsultatif, pendampingan, legal opinion maupun legal action di tingkat perusahaan dalam proses:
  • Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
  • Perlindungan Lingkungan (Environmental).

Pendampingan dalam penyusunan, pembuatan dan perpanjangan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perundingan Pengusaha dengan Wakil Pekerja/Buruh maupun dengan Pemerintah.
Perlindungan
  • Apindo pro‐aktif dan turut serta dalam pembahasan pembuatan kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan di tingkat daerah maupun nasional.
  • Sosialisasi peraturan‐peraturan ketenagakerjaan tingkat nasional, propinsi dan kabupaten
  • Pro‐aktif dalam pembahasan penetapan upah minimum propinsi dan kabupaten
  • Ikut serta mendorong penciptaan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi dunia usaha melalui forum LKS Bipartit maupun LKS Tripartit

Pemberdayaan
  • Penyediaan informasi ketenagakerjaan yang selalu terbarukan dan relevan
  • Pelatihan/seminar masalah ketenagakerjaan di dalam dan di luar negeri
  • Konsultasi ketenagakerjaan mulai dari rekruitmen, tata laksana sampai pasca kerja, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan perlindungan Lingkungan.

Landasan hukum APINDO adalah sebagai berikut :
KADIN (Kamar Dagang Indonesia) menyerahkan sepenuhnya urusan ketenagakerjaan kepada APINDO, karena hubungan industrial adalah salah satu dimensi manajemen usaha
Berdasarkan Kesepakatan kedua belah pihak yang diperkuat oleh SK Menakertranskop No. 2224/MEN/1975 Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional terdiri dari :
  • Unsur Pemerintah diwakili Depnakertranskop
  • Unsur Pengusaha diwakili APINDO
  • Unsur Buruh diwakili FBSI

Pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Indutrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No.037/SKEP/DP/VII/2002 tanggal 31 Juli 2002
d. Pembaruan pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan Industrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 019/SKEP/DP/III/2004 tanggal 5 Maret 2004
Dasar Perundang-Undangan
Hukum Materiil
  1. Undang‐undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
  2. Peraturan Pemerintah/Peraturan Pelaksanaan yang berlaku
  3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja.

Hukum Formal
  1. Undang‐undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  2. Perpu No. 1 Tahun 2005, dan diberlakukan mulai 14 Januari 2006


Permasalahan
Hubungan Industrial bertujuan mewujudkan Hubungan Industrial yang harmonis, Dinamis, kondusif dan berkeadilan di perusahaan.
Ada tiga unsur yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
  1. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
  2. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit
  3. Mogok kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan (lock out) oleh pengusaha, tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak masing‐masing, karena perselisihan yang terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.

Namun demikian Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat berpengaruh dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial yang kita karapkan.
Sikap mental dan sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut adalah :
  1. Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha sebagai investor
  2. Bersedia saling menerima dan meningkatkan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja secara terbuka
  3. Selalu tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan pekerja
  4. Saling mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.

Bagaimana Hubungan Industrial yang Harmonis dan Berkeadilan?

Pembahasan
Lembaga Kerjasama
Agar tertibnya kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan‐peraturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif. Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan sikap mental dan sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai‐nilai budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilai yang terdapat dalam Hubungan Industrial.
Dengan demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan sesuai dengan nilai‐nilai budaya perusahaan tersebut.
Dengan adanya pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan yang harmonis dan kondusif. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana sebagai berikut :
  • Lembaga kerja sama Bipartit
  • Lembaga kerja sama Tri[artit
  • Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
  • Organisasi Pengusaha
  • Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial
  • Peraturan Perusahaan
  • Perjanjian Kerja Bersama

LKS Bipartit
LKS Bipartit adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha.
Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota‐anggota yang terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian.
LKS Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan‐permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya penyelesaian perselisihan industrial.
LKS Bipartit bertujuan :
  1. Terwujudnya ketenangan kerja, disiplin dan ketenangan usaha,
  2. Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan.
  3. Mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di perusahaan.

Kriteria LKS Bipartit :
  1. Pengurus terdiri dari minimal 6 anggota yang ditunjuk (3 wakil pengusaha, 3 wakil pekerja).
  2. Proses penunjukkan anggota dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat.
  3. Kepengurusan bersifat kolektif dan kekeluargaan.
  4. Struktur kepengurusan (Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, merangkap anggota dari 2 anggota)
  5. Masa kerja kepengurusan 2 tahun dan dapat ditunjuk kembali.
  6. Azasnya adalah kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal konsultasi dengan pekerja, yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
  • Jika Perusahaan sudah memiliki Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit, konsultasi dapat dilakukan dengan lembaga tersebut, begitu pula jika ada Serikat Pekerja, maka konsultasi dapat dilakukan dengan Serikat Pekerja yang telah disahkan.
  • Jika Lembaga Kerjasa Sama Bipartit dan Serikat Pekerja tidak ada, maka konsultasi dapat dilakukan dengan karyawan yang ada dalam perusahaan tersebut.

Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara dan waktu untuk rapat perundingan.
Penyelesaian Melalui Bipartit :
  1. Perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat;
  2. Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;
  3. Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, sifatnya mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak;
  4. Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian bersama;
  5. Diberikan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian bersama;
  6. Salah satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan.
  7. Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke PHI di Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi;
  8. Perundingan dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan atau tidak tercapai kesepakatan;
  9. Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Risalah Perundingan Bipartit :
  1. Nama lengkap dan alamat para pihak.
  2. Tanggal dn tempat perundingan
  3. Pokok masalah atau alasan perselisihan
  4. Pendapat para pihak.
  5. Kesimpulan atas hasil perundingan.
  6. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Tugas Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan :
  1. Meneliti perselisihan hubungan industrial, bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit.
  2. Mengembalikan berkas perselisihan paling lambat dalam waktu 7 hari kerja apabila tidak dilengkapi bukti upaya penyelesaian perundingan bipartit.
  3. Wajib menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
  4. Dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, melimpahkan penyelesaiannya kepada mediator.

LKS Tripartit
LKS Tripartit adalah merupakan LKS yang anggota‐anggotanya terdiri dari unsur-unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama Tripartit adalah sebagai FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktorfaktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang.
Dasar Hukum lembaga kerja sama Bipartit dan Tripartit adalah :
  1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  2. Kepmenaker No. Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit
  3. Kepmenaker No. Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit

Penyelesaian Keluh Kesah
  1. Penyelesaian keluh kesah yang timbul di perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa campur tangan pihak lain.
  2. Apabila seorang pekerja mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu mengenai hubungan kerja, pertama‐tama pekerja tersebut menyampaikan keluh kesahnya pada atasannya langsung untuk dimintakan penyelesaian.
  3. Apabila atasan langsung yang bersangkutan tidak menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas penyelesaiannya, pekerja mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi.
  4. Apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas penyelesainnya maka pekerja dapat minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili atau mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.

Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan Hubungan Industrial terjadi akibat perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena :
  1. Tidak dilaksanakannya hak pekerja
  2. Kesadaran pekerja akan perbaikan kesejahteraan
  3. Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan pengusaha

Penyelesaian Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial
  • Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
  • Mediasi, Konsiliasi, Arbiter (wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)

Pengadilan Hubungan Industrial
  • Hukum Acara Perdata Pasal 57, UU No. 2 tahun 2004

Hasil Kerjasama
Peraturan Perusahaan
Peraturan Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat ketentuanketentuan tentang syarat‐syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Peraturan 
Perusahaan adalah: 
  1. Wajib dibuat oleh pengusaha yang mempekerjakan 25 orang karyawan atau lebih. 
  2. Dalam pembuatannya pengusaha mengadakan konsultasi lebih dahulu dengan pekerja/pegawai Depnaker setempat. 
  3. Perusahaan yang telah mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak dapat menggantikannya dengan Peraturan Perusahaan. 
  4. Peraturan Perusahaan sebelum diterapkan (berlaku) setelah mendapat pengesahan/kesaksian dari Departemen Tenaga Kerja cq. Dirjen Binawas untuk Peraturan Perusahaan yang berlaku di seluruh wilayah RI, dan Kadinas/Kasudinas Tenaga Kerja setempat untuk yang berlaku di wilayah tersebut. Tujuh hari setelah pengesahan Peraturan Perusahaan harus di sosialisasikan kepada seluruh karyawan.
  5. Peraturan Perusahaan berlaku paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Masing‐masing Peratutan Perusahaan secara periodik perlu diadakan perubahan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Setiap perubahan ini sebelum dilaksanakan harus mendapat pengesahan/kesaksian dari Depnaker/Disnaker atau pejabat yang ditunjuk.

Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan Peraturan Perusahaan ini adalah :
  1. Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115
  2. Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang Tatacara Pembuatan dan Pengesahan

Pada umumnya penyusunan Peraturan Perusahaan sudah merupakan suatu hal yang standar, dimana beberapa ketentuan yang ada dalam perundang‐undangan ketenagakerjaan dimasukkan kedalam Peraturan Perusahaan, baru kemudian ditambahkan dengan hal‐hal umum dan spesifik yang diperlukan perusahaan tersebut.
Sistimatika atau kerangka yang ideal Peraturan Perusahaan dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Kata Pengantar
  2. Daftar Isi
  3. Mukadimah
  4. Umum
  5. Aturan Perusahaan (Bab II)
  6. Jam Kerja, Peraturan Kerda dan Disiplin Kerja (Bab III)
  7. Pembebasan kewajiban dari bekerja (Bab IV)
  8. Penggajian (Bab V)
  9. Perjalanan Dinas (Bab VI)
  10. Jaminan Kesehatan 9bab VII)
  11. Pengembangan dan Pelatihan (Bab VIII)
  12. Penghargaan (Bab IX)
  13. Kegiatan/aktivitas (Bab X)
  14. Penyelesaian Keluh Kesah (Bab XI)
  15. Penutup (XII)

Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh pengusaha dan serikat yang telah terdaftar yang dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dasar Hukum pembuatan PKB ini didasarkan kepada :
  1. Undang‐Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115 yang mengatur tentang pembuatan dan pendaftaran Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
  2. Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang tatacara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Ketentuan khusus dalam penyusunan PKB beberapa ketentuan harus diperhatikan :
  1. Dirundingkan oleh pengusaha dan Serikat Pekerja yang telah terdaftar.
  2. Didukung oleh SEBAGIAN BESAR pekerja di perusahaan tersebut.
  3. Masa berlaku 2 tahun dan dapat diperpanjang.
  4. Setiap perpanjangan PKB harus disetujuai secara TERTULIS oleh pengusaha dan Serikat Pekerja serta diajukan 90 hari sebelum masa PKB berakhir.
  5. Dibuat dengn Surat Resmi sekurang‐kurangnya rangkap 3 (satu bundel diserahkan ke Depnaker untuk didaftarkan).
  6. PKB yang telah disepakati dibubuhi tanggan dan ditandatangani oleh pengurus yang oleh anggota dasar diperbolehkan, jika diwakilkan harus ada surat kuasa,
  7. Ketentuan PKB tidak boleh bertentangan dengan perundang‐undangan yang berlaku.

Ketentuan Umum
PKB sekurang‐kurangnya memuat :
  • Hak dan kewajiban pengusaha.
  • Hak dan kewajiban Serikat Pekerja
  • Tata tertib perusahaan
  • Jangka waktu berlakunya PKB
  • Tanggal mulai berlakunya PKB.
  • Tanda tangan para pihak yang membuat

Dalam hal perubahan PKB perlu diperhatikan sebagai berikut :
  • Keinginan untuk melakukan perubahan tersebut oleh para pihak harus diajukan secara tertulis.
  • Perubahan PKB harus dilakukan berdasarkan Perjanjian Bersama secara tertulis antara pengusaha dan pekerja.
  • Perubahan PKB yang diperjanjikan kedua belah pihak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku

Para pihak yang terikat dengan PKB adalah pihak‐pihak yang membuatnya yaitu Serikat Pekerja/pekerja dan Pengusaha.

Perjanjian Kerja Khusus (PKWT & PKWTT)
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama waktu tertentu sesuai perjanjian.
Dasar Hukumnya adalah :
  1. Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59 tentang PKWT
  2. Kepmenaker No. Kep. 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

PKK dirumuskan sebagai berikut :
  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
  2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT adalah Perjanjian Kerja antara pekerja dengan pengusaha, untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan atau pekerjaan tertentu.
Ketentuan Umum PKWT :
  1. Dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia
  2. Didalamnya tidak boleh mempersyaratkan adanya masa percobaan, bila dicantumkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum
  3. Dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat, jenis, atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu.
  4. Nilai isi PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat‐syarat kerja yang dimuat dalam Peraturan Perusahaan yang bersangkutan, jika lebih rendah yang berlaku adalah apa yang termuat dalam Peraturan Perusahaan.
  5. Dibuat rangkap 3 (pengusaha, pekerja, pemerintah/Depnaker) dan seluruh biaya yang timbul karena pembuatan ini menjadi tanggung jawab pengusaha.

Ketentuan Khusus PKWT :
  1. Dibuat atas kemauan bebas kedua belah pihak.
  2. Para pihak mampu dan cakap menurut Hukum untuk melakukan perikatan.
  3. Adanya pekerjaan tertentu.
  4. Yang disepakati tidak dilarang oleh undang‐undang atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

PKWT yang tidak memenuhi item 1,2, ketentuan khusus diatas dapat dibatalkan, sedangkan
yang bertentangan dengan 3 dan 4 adalah batal demi hukum.

Pada prinsipnya secara umum sama dengan PKWT. Dalam PKWTT, Perjanjian Kerja dapat berlangsung selamanya sampai dengan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak ada lagi, atau pekerjanya pensiun. Begitu pula dengan ketentuan‐ketentuan lainnya hampir sama.
Para Pihak bebas mengakhiri perjanjian, namum bila yang mengakhiri pengusaha tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka pengusaha wajib membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak jasa dan penggantian hak, sebagaimana diatur Undang‐undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Kesimpulan
  • Kerja Bersama dan Hubungan Industrial adalah suatu sarana untuk menampung seluruh aspirasi para karyawan terhadap keputusan perusahaan, bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara karyawan dengan manajer
  • Hubungan industrial yang baik, harmonis dan stabil menjamin adanya sistem yang efektif, mudah diakses dan berfungsi dengan baik bagi pencegahan dan penyelesaian yang tertib dari perselisihan industrial khususnya melalui mediasi, konsiliasi dan anbitrasi.
  • UU No. 2 tahun 2004 mengenai penyelesaian perselisihan hubungan dengan tepat menbentuk sistem penyelesaian perselisihan yang terdiri dari perundingan bipartit sebagai langkah pertama, penyelesaian diluar pengadilan (mediasi, konsiliasi dan arbitrasi) sebagai langkah kedua dan pengadilan hubungan industrial sebagai langkah ketiga dan terakhir. Karenanya sistem tersebut sejalan dengan standar perburuhan internasional dan praktek-praktek nasional di banyak negara. Tantangan utamanya adalah membuat sistem tersebut bekerja dengan cara yang paling efektif dan efisien.
  • Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial Mediator, Konsiliator atau Arbiter perlu mengutamakan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara musyawarah untuk mufakat sehingga dapat tercipta iklim investasi yang kondusif dan tercapainya hubungan industrial yang aman, tentram, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.


Daftar Pustaka
  • Young, Arthur. 1991. Pedoman Kerja Manajer. PPM. Jakarta.
  • Astra Human Resources Management. 2001. PT Astra International Tbk. Jakarta
  • Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. 1995. Raja Grafindo Persada. Jakarta
  • Mu’azd, Farid. 2006. Pengadilan Hubungan Industrial. Ind‐Hill‐Co. Jakarta.
  • Cohen, Herb. 1986. Negosiasi, Pantja Simpati. Jakarta
  • Joses Sembiring, Jimmy. 2010. Smart HRD. Visimedia. Jakarta
  • L. Mathis, Robert & Jackson, John H. 2001. Manajemen SDM. Salemba Empat. Jakarta.
  • Martoyo, Susilo. 1987. Manajemen Sumber Daya Manusia. BPFE. Yogyakarta
  • Wijono, Sutarto. 2010. Psikologi Industri & Organisasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
  • Shamad, Yunus. 1995. Hubungan Industrial di Indonesia. Bina Sumber Daya Manusia. Jakarta.


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.