PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
YANG DILAKUKAN
MELALUI MEDIASI BERDASARKAN
UU NOMOR 2 TAHUN 2004
Arifin Maulana
41615120082
Teknik Industri (PKK), Fakultas Teknik
Universitas Mercu Buana
Jalan Meruya Selatan No.1 Jakarta Barat
Abstract
Labor disputes
occur between employees individual operators or between unions and individual
employers or the unions or employers association between individual employees
and employers associations, which often occurs due to, among others. Because
disagreement between the parties. Law number 2 of 2004 About Industial
Relations Dispute settlement gives legitimacy to the party who disagree are
free to choose how to resolve conflicts encountred, one of which, as mentions
in the law that is by why of mediation. Mediation is a dispute resolution
right, conflict if interest, the conflict and the conflict between the union in
an enterprise through a consensus brokered by one or more of a neutral
mediator. By then it is hope that mediation is able to resolve the dispute by
means of the concept of industrial relations dispute solution fairly.
Keywords : settlement of labor disputes through
mediation conducted
Abstrak
Perselisihan perburuan terjadi antara pekerja dengan
pengusaha secara individu atau antara serikat pekerja dengan individu pengusaha
atau antara serikat pekerja dengan persatuan pengusaha atau antara pekerja
individu dengan persatuan pengusaha, sering terjadi yang disebabkan antara lain
karena ketidaksepahaman antara pihak tersebut. Undang-undang nomor 2 tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan legitimasi
kepada para pihak yang berselisih bebas memilih cara untuk menyelesaikan
perselisihan yang dihadapi, yang salah satunya sebagaimana disebutkan dalam
undang-undang tersebut yakni dengan cara mediasi. Mediasi merupakan
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pihak,
dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dengan
mediasi tersebut maka diharapkan para pihak mampiu menyelesaikan konsep
perselisihan dengan cara perselesaian perselisihan hubungan industrial secara
adil.
Kata Kunci : Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang
dilakukan mediasi.
A.
Pendahuluan
Konflik atau perbedaan
pandangan adalah hal yang biasa. Konflik dapat terjadi dimanapun dan menimpa
siapapun yang memiliki kepentingan. Konflik dalam serikat buruh bahkan tidak
dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan
sering muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dan yang
personal. Tentu hal ini pun berlaku dibanyak organisasi atau kelompok
kepentingan lain.
Beberapa literature
menyebutkan bahwa factor-faktor pendorong terjadinya konflik antara lain adanya
perbedaan pendapat dan pandangan, perbedaan tujuan, ketidaksesuaian cara
pencapaian tujuan, ketidakcocokan perilaku, pemberian pengaruh negatif dari
pihak lain pada apa yang akan dicapai oleh pihak lainnya, persaingan, kurangnya
kerjasama dan lain-lain.
Secara sosiologis
perselisihan dapat terjadi dimana-mana, dilingkungan rumah tangga, sekolah,
pasar, terminal, perusahaan, kantor dan sebagainya. . Secara psikologis perselisihan
merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain.
Masalah perselisihan merupakan hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat
manusia itu sendiri (Asyadi dalam asikin, 1993:163).
Perselisihan
dilingkungan kerja atau perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan.
Perselisihan yang terjadi dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah
perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara
historis,Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau
perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung
dengan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,
syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan (pasal 1 ayat 1 huruf c
undang-undang nomor 22 tahun 1957). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Kep-15.A/men/1994 istilah perselisihan perburuan diganti menjadi
perselisihan hubungan industrial. Berdarkan ketentuan pasal 1 angka 1
Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang PErselisihan Hubungan Industrial,
Bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara perusahaan atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau seriakat pekerja/ serikat buruh
karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat perkja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa jenis perselisihan hubungan
industrial meliputi 4 macam, yaitu :
a.
Perselisihan hak
b.
Perselisihan kepentingan
c.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
d.
Perselisihan
pemutusan hubungan kerja
Berdasarkan
undang-undang nomor 2 tahun 2004 untuk penyelesaian perselisihan dapat melalui
pengadilan maupun diluar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan
jasa dapat berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian melalui pengadilan
dilakukan melalui pengadilan hubungan industrial. Pengadilan hubungan
industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan
negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial.
Sistem hukum perburuhan
atau hukum ketenagakerjaan yang
berkembang dari industrialisasi di Eropa abad ke-19, yang kemudian diadopsi
oleh negara-negara lain di dunia, pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk
memecahkan konflik antara majikan atau
pengusaha dan buruh atau tenaga kerja ke
dalam suatu sistem rasional legal. Teori-teori hukum positivis menekankan peran
yang netral dari aturanaturan dalam memelihara kepentingankepentingan dari
semua kelompok ke dalam apa yang didefinisikan sebagai “aturanaturan permainan”
( rules of the game ). Sementara itu, institusi pengadilan dengan para hakimnya
dipandang sebagai wasit atau pengawas dan petugas yang bertugas untuk
mengimplementasikan aturanaturan
permainan tersebut. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan proses
penyelesaian perburuhan yang pernah diberlakukan di Indonesia adalah melalui
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun
1951 tentang penyelesaian
perburuhan melalui perantaraan.
Undang-undang itu memberikan putusan
yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha Menteri
Perburuhan itu tidak berhasil, maka perselisihan diserahkan kembali kepada
panitia pusat (Madjid, tt: 1). Cara penyelesaian perselisihan perburuhan
menurut UU No. 22 Tahun 1957 yang berpegang pada asas musyawarah untuk mufakat
berpijak pada tahap pertama: bila terjadi perselisihan, penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak yang berselisih (Abdussalam, 2009: 9). Demikian
juga UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan
Swasta serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya menghendaki
penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat
sehingga tercapai perdamaian antara tenaga kerja dan pengusaha. Dalam hal tidak
dicapainya perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya
penyelesaian para pihak, baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan
Penyelesaian Perburuhan (BPP).
Di Indonesia,
keberadaan pengadilan perburuhan yang dikenal dengan UndangUndang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(UU PHI) telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember
2003. Tepat sebulan kemudian, tanggal 14 Januari 2004, UU Perselisihan Hubungan
Industrial diundangkan oleh Presiden menjadi UU No. 2 Tahun 2004, dan berlaku
secara efektif setahun kemudian. Jiwa Undang-Undang Perselisihan Hubungan
Industrial No. 2 Tahun 2004 ini adalah
menjamin penyelesaian perselisihan industrial menjadi adil, cepat, dan murah.
Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja pada Perusahaaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti UU No.
2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian perselisihan melalui P4P/D (Panitia
Perselisihan Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Hal ini diputuskan karena
sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil, dan murah (Feby
dkk, 2007:2). Selain itu pemberlakuan
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 dirasakan tidak lagi dapat menampung
perkembangan masyarakat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
yang disebabkan oleh (Simanihuruk, 2005: 2):
1. Penyelesaian
perselisihan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
belum diatur dalam ketentuan tersebut;
2. Hak-hak
pekerja/buruh secara perorangan ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak
dapat diakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial;
3. Tidak mengatur
perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan;
4. Tidak menjamin rasa
keadilan bagi pekerja/ buruh dan pengusaha karena penyelesaian perselisihan
yang ditawarkan hanya melalui jalur non litigasi;
5. Terkesan kuatnya
campur tangan Pemerintah, dalam hal :
a. Veto Menteri Adanya kewenangan Menteri untuk menunda
atau membatalkan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) melalui hak veto berdampak pada
terbentuknya paradigma masyarakat tentang besarnya campur tangan
pemerintah yang seharusnya dikurangi;
b. Hanya ada pegawai
perantara di Bagian Hubungan Industrial dan Syarat-Syarat Kerja yang berasal
dari Pegawai Negeri Sipil (tidak memberikan alternatif pilihan penyelesaian
melalui konsiliasi dan arbitrase);
6. Keanggotaan Panitia Perselisihan-perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) diangkat tanpa seleksi yang
menimbulkan asumsi bahwa lembaga P4D dan P4P tidak independen. Perselisihan Hubungan
Industrial merupakan pengadilan khusus
yang berada pada lingkup peradilan umum atau biasa disebut Pengadilan Negeri
(Pasal 55 UU No 2 Tahun 2004). Pengertian pengadilan khusus di sini bukan hanya
dari objek perkara yang berupa sengketa perburuhan dalam hubungan perburuhan,
tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri atas hakim biasa
(karir) dan hakim ad hoc (ahli), cara-cara beracara khusus, seperti tidak
adanya upaya hukum banding dan penjadwalan waktu penyelesaian perkara yang
terbatas.
B. PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI
PENGADILAN./
Proses beracara di Perselisihan Hubungan Industrial,
sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 adalah sama dengan Hukum
Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya
terletak pada pokok gugatan, yaitu perkara dalam surat gugatan hubungan
industrial khusus berhubungan dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya
dengan Hukum Acara Perdata, penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua
tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai Pengadilan Tingkat Pertama
dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat
pertama mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. Gugatan perdata yang
diajukan dan diperiksa oleh Hakim PHI ini terutama merupakan kasus perselisihan
ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau
Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya
adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai
besarkecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan,
dan sebagainya dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi.
Atau mungkin juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian
Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat
Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir
terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Ketua PHI. Hakim Kasasi adalah Majelis Hakim di Mahkamah Agung
RI yang terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad Hoc . Hakim Kasasi
berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajib
mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan
kasasi atau PK. Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia
peradilan kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka
mencari perlindungan hukum; terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi.
Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak
semena-mena terhadap pekerjanya. Kita
berharap bahwa UU No 2 Tahun 2004 dan PHI ini diimbangi peran serta
konsiliator, arbiter, mediator, dan Hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum
dengan tegas, jujur, adil, bersih dari korupsi kroniisme dan nepotisme (KKN),
serta netral (tidak memihak).7 Semua anjuran tertulis dari konsiliator,
arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum,
keadilan, dan kepatutan. Sudah saatnya dan sudah seharusnya perselisihan
perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu diadili oleh peradilan umum
sejak awal. Namun, bagi pencari keadilan, pekerja terutama, yang terpenting
bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak
mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan
birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah
wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme,
PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik
eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan
arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah
eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena di sinilah penentuan
dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit
untuk dieksekusi. Dalam praktik peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang
“pasti” mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang
memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan.8 Oleh karena itu,
sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan
pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan
penyederhanaan lama proses eksekusi. Selain itu, pembentukan PHI pada setiap
peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian
Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan
PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan
secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu mengubah sikap pesimis dan
anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan identik dengan
ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat
semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak
pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan
masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya
penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum (Yusman,
2005:1). Secara garis besar penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
melalui/ didalam Pengadilan dapat dijelaskan dengan ragaan di bawah ini.
Tabel 1. Penyelesaian Perselisihan melalui PHI
Hal- Hal
Terkait
|
Keterangan
|
Gugatan
|
·
Diajukan ke
PHI di daerah hokum dimana pekerja/buruh bekerja
·
Melampirkan
risalah penyelesaian melalui bipartit, mediasi atau konsiliasi
|
Tenggang waktu
pengajuan gugatan
|
1 (stau) tahun
sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha
|
Kuasa hukum
|
Serikat
pekerja/buruh atau serikat pengusaha, ataupun lawyer professional.
|
Pemeriksaan
dengan Acara Cepat
|
·
Permohonan
disampaikan pihak yang berkepentingan dengan alasan yang cukup mendesak.
·
7 hari kerja
ketua PN wajib menetapkan setuju atau tidak setuju.
|
Pemeriksaan
dengan Acara biasa
|
Penyampaian
Jawaban dan pembuktian kedua belah pihak 14 hari kerja
|
Hakim
|
Terdiri atas 3
(tiga) Orang:
1 (satu) Hakim
karier sebagai hakim ketua
2 (dua) Hakim
ad hoc yang berasal dari serikat buruh dan pengusaha.
|
Jangka waktu
penyelesaian Persidangan
|
Selambat-lambatnya
50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
|
Kasasi
|
Dimungkinkan
bagi perselisihan PHK dan perselisihan Hak
|
Skema 1. Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial di PHI
C. KESIMPULAN dan SARAN
Perselisihan hubungan industrial antara pekerja atau
buruh dan pengusaha atau majikan sering kali terjadi sebagai akibat dari
ketidak sesuaian pendapat dan atau tindakan keduanya. Perselisihan keduanya
biasanya didahului adanya pelanggaran hukum dan bisa juga terjadi bukan karena
pelanggaranan hukum. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu di luar pengadilan dan dalam pengadilan
hubungan industrial. Mekanisme melalui penyelesaian sengketa alternatif di luar
pengadilan ini bisa dilakukan dengan upaya bipartit. Jika upaya bipartit tdak
berhasil, maka dapat dilanjutkan dengan upaya mediasi melalui seorang atas
badan mediasi, melalui konsiliasi, maupun melalui arbiter dengan lembaga
arbitrase.
Jika
melalui upaya mediasi, konsolidasi, maupun arbitrase mengalami kegagalan, maka
salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan
apabila putusan pengadilan dirasa belum memenuhi rasa keadilan, maka para pihak
dapat mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung.
Saran
yang dapat penulis berikut antara lain, dalam menangani perselisihan hubungan
industrial antara pekerja dengan pekerja datau pekerja dengan pengusaha atau
pekerja dengan serikat dapat diselesaikan secara internal maupun internal
berdasrkan Undang-Undang No.2 Tahun 2004, yang mengatur segala urusan mengenai
hubungan industrial. Namun penyelesaian juga bias dilakukan dengan mediasi atau
secara kekeluargaan jika serikat pekerja yang ada di perusahaan dapat
mengontrol semua dengan baik.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Ø Wihoho,Jamal. 2007.Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Indonesia.
Ø Handayani, Pristika. 2007.Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Yang Dilakukan Melalui
Mediasi Berdasarkan Udang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial. Jakrta.
Ø Jumiati, Agatha. Dahlia. 2001. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL BERDASARKAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004. Wacana Hukum.
Ø Majid, Neni Vena. 2010. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Padang, Laporan Penelitian.
Ø Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.