Thursday, June 16, 2016

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG DILAKUKAN MELALUI MEDIASI BERDASARKAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
YANG DILAKUKAN MELALUI MEDIASI BERDASARKAN
 UU NOMOR 2 TAHUN 2004

Arifin Maulana
41615120082
Teknik Industri (PKK), Fakultas Teknik
Universitas Mercu Buana
Jalan Meruya Selatan No.1 Jakarta Barat
Abstract
Labor disputes occur between employees individual operators or between unions and individual employers or the unions or employers association between individual employees and employers associations, which often occurs due to, among others. Because disagreement between the parties. Law number 2 of 2004 About Industial Relations Dispute settlement gives legitimacy to the party who disagree are free to choose how to resolve conflicts encountred, one of which, as mentions in the law that is by why of mediation. Mediation is a dispute resolution right, conflict if interest, the conflict and the conflict between the union in an enterprise through a consensus brokered by one or more of a neutral mediator. By then it is hope that mediation is able to resolve the dispute by means of the concept of industrial relations dispute solution fairly.
Keywords : settlement of labor disputes through mediation conducted
Abstrak
Perselisihan perburuan terjadi antara pekerja dengan pengusaha secara individu atau antara serikat pekerja dengan individu pengusaha atau antara serikat pekerja dengan persatuan pengusaha atau antara pekerja individu dengan persatuan pengusaha, sering terjadi yang disebabkan antara lain karena ketidaksepahaman antara pihak tersebut. Undang-undang nomor 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan legitimasi kepada para pihak yang berselisih bebas memilih cara untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi, yang salah satunya sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut yakni dengan cara mediasi. Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pihak, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dengan mediasi tersebut maka diharapkan para pihak mampiu menyelesaikan konsep perselisihan dengan cara perselesaian perselisihan hubungan industrial secara adil.
Kata Kunci : Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang dilakukan mediasi.
           A.    Pendahuluan
Konflik atau perbedaan pandangan adalah hal yang biasa. Konflik dapat terjadi dimanapun dan menimpa siapapun yang memiliki kepentingan. Konflik dalam serikat buruh bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan sering muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dan yang personal. Tentu hal ini pun berlaku dibanyak organisasi atau kelompok kepentingan lain.
Beberapa literature menyebutkan bahwa factor-faktor pendorong terjadinya konflik antara lain adanya perbedaan pendapat dan pandangan, perbedaan tujuan, ketidaksesuaian cara pencapaian tujuan, ketidakcocokan perilaku, pemberian pengaruh negatif dari pihak lain pada apa yang akan dicapai oleh pihak lainnya, persaingan, kurangnya kerjasama dan lain-lain.
Secara sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana-mana, dilingkungan rumah tangga, sekolah, pasar, terminal, perusahaan, kantor dan sebagainya. . Secara psikologis perselisihan merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain. Masalah perselisihan merupakan hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu sendiri (Asyadi dalam asikin, 1993:163).
Perselisihan dilingkungan kerja atau perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Perselisihan yang terjadi dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara historis,Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan (pasal 1 ayat 1 huruf c undang-undang nomor 22 tahun 1957). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-15.A/men/1994 istilah perselisihan perburuan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Berdarkan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang PErselisihan Hubungan Industrial, Bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara perusahaan atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau seriakat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat perkja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi 4 macam, yaitu :
a.       Perselisihan hak
b.      Perselisihan kepentingan
c.       Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
d.      Perselisihan pemutusan hubungan kerja
Berdasarkan undang-undang nomor 2 tahun 2004 untuk penyelesaian perselisihan dapat melalui pengadilan maupun diluar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan jasa dapat berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian melalui pengadilan dilakukan melalui pengadilan hubungan industrial. Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Sistem hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan  yang berkembang dari industrialisasi di Eropa abad ke-19, yang kemudian diadopsi oleh negara-negara lain di dunia, pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk memecahkan  konflik antara majikan atau pengusaha  dan buruh atau tenaga kerja ke dalam suatu sistem rasional legal. Teori-teori hukum positivis menekankan peran yang netral dari aturanaturan dalam memelihara kepentingankepentingan dari semua kelompok ke dalam apa yang didefinisikan sebagai “aturanaturan permainan” ( rules of the game ). Sementara itu, institusi pengadilan dengan para hakimnya dipandang sebagai wasit atau pengawas dan petugas yang bertugas untuk mengimplementasikan  aturanaturan permainan tersebut. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan proses penyelesaian perburuhan yang pernah diberlakukan di Indonesia adalah melalui Undang-Undang  Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang  penyelesaian perburuhan  melalui perantaraan. Undang-undang itu memberikan  putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha Menteri Perburuhan itu tidak berhasil, maka perselisihan diserahkan kembali kepada panitia pusat (Madjid, tt: 1). Cara penyelesaian perselisihan perburuhan menurut UU No. 22 Tahun 1957 yang berpegang pada asas musyawarah untuk mufakat berpijak pada tahap pertama: bila terjadi perselisihan, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang berselisih (Abdussalam, 2009: 9). Demikian juga UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya menghendaki penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat sehingga tercapai perdamaian antara tenaga kerja dan pengusaha. Dalam hal tidak dicapainya perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian para pihak, baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perburuhan (BPP).
Di Indonesia, keberadaan pengadilan perburuhan yang dikenal dengan UndangUndang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember 2003. Tepat sebulan kemudian, tanggal 14 Januari 2004, UU Perselisihan Hubungan Industrial diundangkan oleh Presiden menjadi UU No. 2 Tahun 2004, dan berlaku secara efektif setahun kemudian. Jiwa Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial  No. 2 Tahun 2004 ini adalah menjamin penyelesaian perselisihan industrial menjadi adil, cepat, dan murah. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti UU No. 2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian perselisihan melalui P4P/D (Panitia Perselisihan Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Hal ini diputuskan karena sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil, dan murah (Feby dkk, 2007:2).  Selain itu pemberlakuan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 dirasakan tidak lagi dapat menampung perkembangan masyarakat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang disebabkan oleh (Simanihuruk, 2005: 2):
1. Penyelesaian perselisihan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah belum diatur dalam ketentuan tersebut;
2. Hak-hak pekerja/buruh secara perorangan ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat diakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial;
3. Tidak mengatur perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan;
4. Tidak menjamin rasa keadilan bagi pekerja/ buruh dan pengusaha karena penyelesaian perselisihan yang ditawarkan hanya melalui jalur non litigasi;
5. Terkesan kuatnya campur tangan Pemerintah, dalam hal :
a. Veto Menteri    Adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) melalui hak veto berdampak pada     terbentuknya paradigma masyarakat tentang besarnya campur tangan pemerintah yang seharusnya dikurangi;
b. Hanya ada pegawai perantara di Bagian Hubungan Industrial dan Syarat-Syarat Kerja yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (tidak memberikan alternatif pilihan penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase);
6. Keanggotaan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Daerah (P4D)  diangkat tanpa seleksi yang menimbulkan asumsi bahwa lembaga P4D dan P4P tidak independen. Perselisihan Hubungan Industrial  merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup peradilan umum atau biasa disebut Pengadilan Negeri (Pasal 55 UU No 2 Tahun 2004). Pengertian pengadilan khusus di sini bukan hanya dari objek perkara yang berupa sengketa perburuhan dalam hubungan perburuhan, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri atas hakim biasa (karir) dan hakim ad hoc (ahli), cara-cara beracara khusus, seperti tidak adanya upaya hukum banding dan penjadwalan waktu penyelesaian perkara yang terbatas.     
B.    PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI  PENGADILAN./
               Proses beracara di Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu perkara dalam surat gugatan hubungan industrial khusus berhubungan dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh Hakim PHI ini terutama merupakan kasus perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai besarkecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dan sebagainya dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau mungkin juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI. Hakim Kasasi adalah Majelis Hakim di Mahkamah Agung RI yang terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad Hoc . Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajib mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK. Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum; terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya.  Kita berharap bahwa UU No 2 Tahun 2004 dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan Hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari korupsi kroniisme dan nepotisme (KKN), serta netral (tidak memihak).7 Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan. Sudah saatnya dan sudah seharusnya perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu diadili oleh peradilan umum sejak awal. Namun, bagi pencari keadilan, pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena di sinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktik peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang “pasti” mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan.8 Oleh karena itu, sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan lama proses eksekusi. Selain itu, pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu mengubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum (Yusman, 2005:1). Secara garis besar penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui/ didalam Pengadilan dapat dijelaskan dengan ragaan di bawah ini.
Tabel 1. Penyelesaian Perselisihan melalui PHI
Hal- Hal Terkait
Keterangan
Gugatan
·         Diajukan ke PHI di daerah hokum dimana pekerja/buruh bekerja
·         Melampirkan risalah penyelesaian melalui bipartit, mediasi atau konsiliasi
Tenggang waktu pengajuan gugatan
1 (stau) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha
Kuasa hukum
Serikat pekerja/buruh atau serikat pengusaha, ataupun lawyer professional.
Pemeriksaan dengan Acara Cepat
·         Permohonan disampaikan pihak yang berkepentingan dengan alasan yang cukup mendesak.
·         7 hari kerja ketua PN wajib menetapkan setuju atau tidak setuju.
Pemeriksaan dengan Acara biasa
Penyampaian Jawaban dan pembuktian kedua belah pihak 14 hari kerja
Hakim
Terdiri atas 3 (tiga) Orang:
1 (satu) Hakim karier sebagai hakim ketua
2 (dua) Hakim ad hoc yang berasal dari serikat buruh dan pengusaha.
Jangka waktu penyelesaian Persidangan
Selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama
Kasasi
Dimungkinkan bagi perselisihan PHK dan perselisihan Hak

Skema 1. Penyelesaian Perselisihan  
 Hubungan Industrial di PHI
                           
C.    KESIMPULAN dan SARAN
               Perselisihan hubungan industrial antara pekerja atau buruh dan pengusaha atau majikan sering kali terjadi sebagai akibat dari ketidak sesuaian pendapat dan atau tindakan keduanya. Perselisihan keduanya biasanya didahului adanya pelanggaran hukum dan bisa juga terjadi bukan karena pelanggaranan hukum. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu di luar pengadilan dan dalam pengadilan hubungan industrial. Mekanisme melalui penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan ini bisa dilakukan dengan upaya bipartit. Jika upaya bipartit tdak berhasil, maka dapat dilanjutkan dengan upaya mediasi melalui seorang atas badan mediasi, melalui konsiliasi, maupun melalui arbiter dengan lembaga arbitrase.
               Jika melalui upaya mediasi, konsolidasi, maupun arbitrase mengalami kegagalan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan apabila putusan pengadilan dirasa belum memenuhi rasa keadilan, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung.
               Saran yang dapat penulis berikut antara lain, dalam menangani perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pekerja datau pekerja dengan pengusaha atau pekerja dengan serikat dapat diselesaikan secara internal maupun internal berdasrkan Undang-Undang No.2 Tahun 2004, yang mengatur segala urusan mengenai hubungan industrial. Namun penyelesaian juga bias dilakukan dengan mediasi atau secara kekeluargaan jika serikat pekerja yang ada di perusahaan dapat mengontrol semua dengan baik.

D. DAFTAR PUSTAKA
Ø  Wihoho,Jamal. 2007.Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Indonesia.
Ø Handayani, Pristika. 2007.Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Yang Dilakukan Melalui Mediasi Berdasarkan Udang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Jakrta.
Ø Jumiati, Agatha. Dahlia. 2001. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004. Wacana Hukum.
Ø Majid, Neni Vena. 2010. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada Pengadilan  Negeri Padang, Laporan Penelitian.

Ø Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.